Portalkota-Konflik yang melibatkan suku Rohingya di Myanmar telah menjadi salah satu isu kemanusiaan paling mendesak dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak 2016, ribuan orang Rohingya telah dipaksa melarikan diri dari rumah mereka akibat kekerasan yang sistematis, penganiayaan, dan diskriminasi yang dilakukan oleh militer dan pemerintah Myanmar. Situasi ini tidak hanya memerlukan perhatian internasional, tetapi juga tindakan hukum yang tegas untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi para korban. Dalam konteks ini, langkah hukum internasional memainkan peranan penting dalam menangani krisis ini.
Suku Rohingya, yang mayoritas beragama Islam, telah lama menjadi kelompok minoritas yang terpinggirkan di Myanmar. Mereka dianggap sebagai pendatang ilegal meskipun banyak yang telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
Pemerintah Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, menolak pengakuan terhadap Rohingya, yang menyebabkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan yang meningkat.
Pada tahun 2017, operasi militer besar-besaran menyebabkan lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan di kamp-kamp pengungsi.
Salah satu langkah paling signifikan dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya adalah pengajuan kasus ke Pengadilan Internasional (ICJ). Gambia, atas nama Organisasi Kerjasama Islam, mengajukan gugatan terhadap Myanmar pada tahun 2019 dengan tuduhan genosida terhadap suku Rohingya.
Proses hukum ini menandai langkah pertama yang penting dalam upaya internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Myanmar. Pengadilan memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah genosida dan melaporkan tindakan mereka secara berkala.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine State, tempat tinggal suku Rohingya. Laporan-laporan ini mencakup temuan tentang pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran massal, yang semuanya merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum, laporan ini memberikan dasar untuk tindakan lebih lanjut oleh negara-negara anggota PBB.
Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menerapkan sanksi terhadap individu-individu dan entitas militer Myanmar yang terlibat dalam kekerasan terhadap Rohingya.
Sanksi ini bertujuan untuk menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan pelanggaran dan memberikan keadilan kepada para korban. Namun, efektivitas sanksi ini sering dipertanyakan, terutama karena adanya dukungan politik dan ekonomi yang masih diterima oleh militer Myanmar dari beberapa negara.
Selain tindakan hukum, komunitas internasional juga berperan dalam memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Bangladesh dan negara-negara lain. Bantuan kemanusiaan, dukungan pendidikan, dan layanan kesehatan sangat penting untuk mendukung ribuan pengungsi yang tinggal di kamp-kamp dengan kondisi yang sangat terbatas. Meski ini bukan solusi jangka panjang, bantuan tersebut menunjukkan solidaritas global terhadap nasib Rohingya.
Meskipun langkah-langkah hukum internasional menunjukkan komitmen untuk menangani masalah Rohingya, ada beberapa tantangan yang signifikan.
Pertama, adanya resistensi dari pemerintah Myanmar itu sendiri. Dengan dukungan dari beberapa negara, Myanmar sering kali menolak tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan menganggapnya sebagai campur tangan asing. Hal ini menciptakan hambatan dalam proses hukum dan upaya penyelesaian konflik.
Kedua, mekanisme hukum internasional sering kali lamban dan kompleks. Proses di pengadilan internasional memerlukan waktu yang lama, dan seringkali sulit untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk mendukung tuduhan genosida atau pelanggaran berat lainnya. Selain itu, pengadilan internasional tidak memiliki kekuatan eksekusi untuk memaksa negara-negara mematuhi putusannya.
Ketiga, perhatian dunia sering kali beralih ke isu-isu lain, membuat krisis Rohingya terkadang terlupakan. Media global cenderung hanya memberikan sorotan ketika ada peristiwa besar, sehingga kondisi harian yang dihadapi oleh pengungsi dan korban pelanggaran hak asasi manusia seringkali tidak terpantau.
Krisis Rohingya adalah contoh tragis dari pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan perhatian dan tindakan internasional yang mendesak. Langkah-langkah hukum internasional, seperti pengajuan kasus ke ICJ, penyelidikan oleh PBB, dan penerapan sanksi, menunjukkan adanya upaya untuk menuntut pertanggungjawaban atas kekerasan yang dialami oleh Rohingya. Namun, tantangan besar tetap ada dalam penegakan hukum tersebut.
Komunitas internasional perlu terus mendukung upaya untuk memberikan keadilan bagi Rohingya dan memastikan bahwa suara mereka didengar. Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran global tentang situasi ini dan mendorong tindakan yang lebih terkoordinasi untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Hanya dengan langkah-langkah yang tegas dan komprehensif, diharapkan masa depan yang lebih baik bagi suku Rohingya dapat tercapai.
Mengenal Penulis:
Nama: Utami Maulia
Fakultas: Hukum
Universitas Pamulang